Dewasa ini, banyak wanita
muslim yang tidak berjilbab. Bila ada yang berjilbab bukan dengan tujuan untuk
menutup aurat mereka, akan tetapi bertujuan mengikuti mode, agar lebih anggun
dan alasan lainnya. Meski mereka berjilbab tapi masih memperlihatkan bentuk
tubuhnya dan masih bertasyabbuh (menyerupai)
orang kafir.
Bukan hanya itu,
mereka menghina wanita muslimah yang mengenakan jilbab syar’i, dengan
mengatakan itu pakaian orang kolot, pakaian orang radikal, dan mereka
mengatakan jilbab (yang syar’i) adalah budaya arab yang sudah ketinggalan
zaman, serta banyak lagi ejekan-ejekan yang tidak pantas keluar dari mulut
seorang muslim.
Hal ini karena
kejahilan dan ketidakpedulian mereka untuk mencari ilmu tentang pakaian wanita
muslimah yang syar’i. Tentu tulisan singkat tentang jilbab ini bukan saja
khusus untuk kaum hawa, namun para ikhwan, bapak, kakek juga berkewajiban untuk
mempelajarinya dan memahami serta mengamalkannya dengan cara mengajak
saudari-saudarinya yang berada dibawah tanggung jawabnya dan sekitarnya.
Berikut adalah tuntunan memakai jilbab yang sesuai syari’at.
Pertama, MELIPUTI SELURUH BADAN
Syarat
ini terdapat dalam Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat
31, “Katakanlah kepada wanita yang
beriman.Hendaklah mereka menahan pandangan mereka dan memelihara kemaluan
mereka dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa)
nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada mereka,
dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka atau
ayah mereka atau ayah suami mereka (mertua) atau putra-putra mereka atau
putra-putra suami mereka atau saudara-saudara mereka (kakak dan adiknya) atau
putra-putra saudara laki-laki mereka atau putra-putra saudara perempuan mereka
(keponakan) atau wanita-wanita Islam atau budak-budak yang mereka miliki atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau
anak-anak yang belum mengerti aurat wanita...”
Juga Firman Allah
Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Ahzab ayat 59, “Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
istri-istri orang mumin: “Hendaklah mereka mengulurkann jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu
mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata
dalam Tafsirnya, “Janganlah kaum wanita menampakkan sedikitpun dari perhiasan
mereka kepada pria-pria ajnabi (yang bukan mahram/halal nikah), kecuali yang
tidak mungkin disembunyikan.”
Ibnu Masud berkata, “Misalnya
selendang dan kain lainnya.” “Maksudnya adalah kain kudung yang biasa dikenakan
oleh wanita Arab di atas pakaiannya serat bagian bawah pakiannya yang tampak,
maka itu bukan dosa baginya, karena tidak mungkin disembunyikan.”
Al-Qurthubi berkata, “Pengecualian
itu adalah pada wajah dan telapak tangan. Yang menunjukkan hal itu adalah apa
yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Aisyah bahwa Asma binti Abu Bakr menemui
Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam sedangkan ia memakai pakaian tipis. Maka
Rasulullah berpaling darinya dan berkata kepadanya, “Wahai Asma ! Sesungguhnya
jika seorang wanita itu telah mencapai masa haid, tidak baik jika ada bagian
tubuhnya yang terlihat, kecuali ini.” Kemudian beliau menunjuk wajah dan
telapak tangannya. Semoga Allah memberi Taufik dan tidak ada Rabb selain-Nya.”
Kedua, BUKAN SEBAGAI PERHIASAN
Ini
berdasarkan Firman Allah Ta'ala dalam surat An-Nuur ayat 31, “Dan janganlah kaum wanita itu menampakkan
perhiasan mereka.” Secara umum kandungan ayat ini juga mencakup pakaian
biasa jika dihiasi dengan sesuatu, yang menyebabkan kaum laki-laki melirikkan
pandangan kepadanya.
Hal ini dikuatkan
oleh Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Ahzab ayat 33, “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti oang-orang jahiliyah.”
Juga berdasarkan
sabda Nabi shalallohu 'alahi wa sallam, “Ada
tiga golongan yang tidak akan ditanya yaitu, seorang laki-laki yang
meninggalkan Jamaah Muslimin dan mendurhakai Imaamnya serta meninggal dalam
keadaan durhaka, seorang budak wanita atau laki-laki yang melarikan diri (dari
tuannya) lalu ia mati, serta seorang wanita yang ditinggal oleh suaminya,
padahal suaminya telah mencukupi keperluan duniawinya, namun setelah itu ia
bertabarruj. Ketiganya itu tidak akan ditanya.” (Ahmad VI/19; Al-Bukhari
dalam Al-Adab Al-Mufrad).
Tabarruj adalah
perilaku wanita yang menampakkan perhiasan dan kecantikannya serta segala
sesuatu yang wajib ditutup karena dapat membangkitkan syahwat laki-laki.
(Fathul Bayan VII/19).
Ketiga, KAINNYA TIDAK TRANSPARAN
Sebab
yang namanya menutup itu tidak akan terwujud kecuali tidak trasparan. Jika
transparan, maka hanya akan mengundang fitnah (godaan) dan berarti menampakkan
perhiasan. Dalam hal ini Rasulullah telah bersabda, “Pada akhir umatku nanti akan ada wanita-wanita yang berpakain namun
(hakekatnya) telanjang. Di atas kepala mereka seperti punuk unta. Kutuklah
mereka karena sebenarnya mereka adalah kaum wanita yang terkutuk.” (At-Thabrani
Al-Mujamusshaghir : 232).
Di dalam hadits
lain terdapat tambahan yaitu, “Mereka tidak akan masuk surga dan juga tidak
akan mencium baunya, padahal baunya surga itu dapat dicium dari perjalanan
sekian dan sekian.” (HR.Muslim).
Ibnu Abdil Barr berkata, “Yang dimaksud oleh Nabi adalah kaum wanita
yang mengenakan pakaian yang tipis, yang dapat mensifati (menggambarkan) bentuk
tubuhnya dan tidak dapat menutup atau menyembunyikannya. Mereka itu tetap
berpakaian namanya, akan tetapi hakekatnya telanjang.” ( Tanwirul Hawalik
III/103).
Dari Abdullah bin Abu Salamah, bahawsanya
Umar bin Al-Khattab pernah memakai baju Qibtiyah (jenis pakaian dari Mesir yang
tipis dan berwarna putih) kemudian Umar berkata, “Jangan kamu pakaikan baju ini untuk istri-istrimu !” Seseorang
kemudian bertanya, “Wahai Amirul
Muminin, telah saya pakaikan itu kepada istriku dan telah aku lihat di rumah
dari arah depan maupun belakang, namun aku tidak melihatnya sebagai pakaian
yang tipis ! Maka Umar menjawab, “Sekalipun
tidak tipis, namun ia menggambarkan lekuk tubuh.” (H.R. Al-Baihaqi
II/234-235).
Keempat, HARUS LONGGAR (TIDAK KETAT)
Usamah
bin Zaid pernah berkata, Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam pernah
memberiku baju Qibtiyah yang tebal yang merupakan baju yang dihadiahkan oleh
Dihyah Al-Kalbi kepada beliau. Baju itu pun aku pakaikan pada istriku. Nabi
bertanya kepadaku, “Mengapa kamu tidak
mengenakan baju Qibtiyah ?” Aku menjawab, “Aku pakaikan baju itu pada istriku.” Nabi lalu bersabda, “Perintahkan ia agar mengenakan baju dalam
di balik Qibtiyah itu, karena saya khawatir baju itu masih bisa menggambarkan
bentuk tulangnya.” (Ad-Dhiya Al-Maqdisi: Al-Hadits Al-Mukhtarah I/441).
Aisyah pernah
berkata, “Seorang wanita dalam shalat
harus mengenakan tiga pakaian: Baju, jilbab dan khimar.” Adalah Aisyah
pernah mengulurkan izarnya (pakaian sejenis jubah) dan berjilbab dengannya
(Ibnu Sad VIII/71). Pendapat yang senada juga dikatakan oleh Ibnu Umar, “Jika
seorang wanita menunaikan shalat, maka ia harus mengenakan seluruh pakainnya :
Baju, khimar dan milhafah (mantel).” (Ibnu Abi Syaibah: Al-Mushannaf II:26/1).
Kelima, TIDAK DIBERI WEWANGIAN ATAU PARFUM
Dari
Abu Musa Al-Asyari bahwasannya ia berkata: Rasulullah shalallohu 'alahi wa
sallam bersabda, “Siapapun wanita yang
memakai wewangian, lalu ia melewati kaum laki-laki agar mereka mendapatkan
baunya, maka ia adalah pezina.” (Al-Hakim II/396 dan disepakati oleh
Adz-Dzahabi).
Dari Zainab
Ats-Tsaqafiyah bahwasannya Nabi bersabda shalallohu 'alahi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian (kaum
wanita) keluar menuju masjid, maka jangan sekali-kali mendekatinya dengan
(memakai) wewangian.” (Muslim dan Abu Awanah).
Dari Musa bin Yasar
dari Abu Hurairah: Bahwa seorang wanita berpapasan dengannya dan bau wewangian
tercium olehnya. Maka Abu Hurairah berkata,
“Wahai hamba Allah ! Apakah kamu hendak ke masjid ?” Ia menjawab : “Ya.” Abu Hurairah kemudian berkata, Pulanglah
saja, lalu mandilah ! karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah
bersabda, “Jika seorang wanita keluar
menuju masjid sedangkan bau wewangian menghembus maka Allah tidak menerima
shalatnya, sehingga ia pulang lagi menuju rumahnya lalu mandi.” (Al-Baihaqi
III/133).
Alasan
pelarangannya sudah jelas, yaitu bahwa hal itu akan membangkitkan nafsu birahi.
Ibnu Daqiq Al-Id berkata: “Hadis tersebut menunjukkan haramnya memakai
wewangian bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, karena hal itu akan
dapat membangkitkan nafsu birahi kaum laki-laki” (Al-Munawi : Fidhul Qadhir).
Syaikh Albani
mengatakan, “Jika hal itu saja diharamkan
bagi wanita yang hendak keluar menuju masjid, lalu apa hukumnya bagi yang
hendak menuju pasar, atau tempat keramaian lainnya ? Tidak diragukan lagi bahwa
hal itu jauh lebih haram dan lebih besar dosanya.”
Berkata Al-Haitsami
dalam AZ-Zawajir II/37, “Bahwa keluarnya
seorang wanita dari rumahnya dengan memakai wewangian dan berhias adalah
termasuk perbuatan dosa besar meskipun suaminya mengizinkan.”
Kelima, TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN LAKI-LAKI
Karena
ada beberapa hadits shahih yang melaknat wanita yang menyerupakan diri dengan
kaum pria, baik dalam hal pakaian maupun lainnya. Dari Abu Hurairah berkata, “Rasulullah melaknat pria yang memakai
pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian pria.” (Al-Hakim IV/19
disepakati oleh Adz-Dzahabi).
Dari Abdullah bin
Amru yang berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallohu 'alahi wa sallam
bersabda, “Tidak termasuk golongan kami
para wanita yang menyerupakan diri dengan kaum pria dan kaum pria yang
menyerupakan diri dengan kaum wanita.” (Ahmad II/199-200).
Dari Ibnu Abbas yang berkata, Nabi
shalallohu 'alahi wa sallam melaknat kaum pria yang bertingkah
kewanita-wanitaan dan kaum wanita yang bertingkah kelaki-lakian. Beliau
bersabda, “Keluarkan mereka dari rumah kalian. Nabi pun mengeluarkan si fulan
dan Umar juga mengeluarkan si fulan.” Dalam lafadz lain : “Rasulullah melaknat
kaum pria yang menyerupakan diri dengan kaum wanita dan kaum wanita yang
menyerupakan diri dengan kaum pria.” (Al-Bukhari X/273-274).
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah
shalallohu 'alahi wa sallam bersabda: “Tiga golongan yang tidak akan masuk
surga dan Allah tidak akan memandang mereka pada hari kiamat; Orang yang
durhaka kepada kedua orang tuanya, wanita yang bertingkah kelaki-lakian dan
menyerupakan diri dengan laki-laki dan dayyuts (orang yang tidak memiliki rasa
cemburu).” ( Al-Hakim I/72 dan IV/146-147 disepakati Adz-Dzahabi).
Dalam hadits-hadits
ini terkandung petunjuk yang jelas mengenai diharamkannya tindakan wanita
menyerupai kaum pria, begitu pula sebaiknya. Ini bersifat umum, meliputi masalah
pakaian dan lainnya, kecuali hadits yang pertama yang hanya menyebutkan hukum
dalam masalah pakaian saja.
Keenam, TIDAK MENYERUPAI PAKAIAN WANITA KAFIR
Syariat
Islam telah menetapkan bahwa kaum muslimin (laki-laki maupun perempuan) tidak
boleh bertasyabuh (menyerupai) kepada orang-orang kafir, baik dalam ibadah,
ikut merayakan hari raya, dan berpakain khas mereka. Dalilnya Firman Allah
Subhanahu Wa Ta'ala surat Al-Hadid ayat 16, “Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati
mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)
dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan
Al-Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati
mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang
fasik.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
berkata: Firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surat Al-Hadid ayat 16, yang
artinya: “Janganlah mereka seperti...” merupakan larangan mutlak dari tindakan
menyerupai mereka, di samping merupakan larangan khusus dari tindakan
menyerupai mereka dalam hal membatunya hati akibat kemaksiatan (Al-Iqtidha...
hal. 43).
Ibnu Katsir berkata ketika
menafsirkan ayat ini (IV/310): Karena itu Allah Subhanahu Wa Ta'ala melarang
orang-orang beriman menyerupai mereka dalam perkara-perkara pokok maupun
cabang. Allah berfirman: artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad).“Raaina” tetapi katakanlah “Unzhurna” dan dengarlah.
Dan bagi orang-orang yang kafir siksaan yang pedih” (Q.S. Al-baqarah:104).
Lebih lanjut Ibnu
Katsir berkata dalam tafsirnya (I/148): Allah melarang hamba-hamba-Nya yang
beriman untuk mnyerupai ucapan-ucapan dan tindakan-tindakan orang-orang kafir.
Sebab, orang-orang Yahudi suka menggunakan plesetan kata dengan tujuan
mengejek. Jika mereka ingin mengatakan “Dengarlah kami” mereka mengatakan
“Raaina” sebagai plesetan kata “ruunah” (artinya ketotolan) sebagaimana firman
Allah dalam surat An-Nisa ayat 46. Allah juga telah memberi tahukan dalam surat
Al-Mujadalah ayat 22, bahwa tidak ada seorang mu’min yang mencintai orang-orang
kafir. Barangsiapa yang mencintai orang-orang kafir, maka ia bukan orang
mu’min, sedangkan tindakan menyerupakan diri secara lahiriah merupakan hal yang
dicurigai sebagai wujud kecintaan, oleh karena itu diharamkan.
Ketujuh, BUKAN PAKAIAN SYUHRAH (UNTUK MENCARI
POPULARITAS)
Berdasarkan hadits Ibnu Umar, Rasulullah
shalallohu 'alahi wa sallam bersabda, “Barangsiapa
menge nakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian
kehinaan kepadanya pada hari kiamat, kemudian membakarnya dengan api neraka.”
(Abu Daud II/172).
Syuhrah adalah
setiap pakaian yang dipakai dengan tujuan untuk meraih popularitas di
tengah-tengah orang banyak, baik pakain tersebut mahal, yang dipakai oleh
seseorang untuk berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang
bernilai rendah, yang dipakai oleh seseorang untuk menampakkan kezuhudannya dan
dengan tujuan riya (Asy-Syaukani: Nailul Authar II/94). Ibnul Atsir berkata,
“Syuhrah artinya terlihatnya sesuatu. Maksud dari Libas Syuhrah adalah
pakaiannya terkenal di kalangan orang-orang yang mengangkat pandangannya mereka
kepadanya. Ia berbangga terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.”
wallahu ‘alam. (Dikutip dari: Kitab Jilbab Al-Mar’ah Al-Muslimah fil
Kitabi was Sunnah, Asy-Syaikh Al-Albani).
[Abu
Labib ‘Abdullah]
Posting Komentar